Pendidikan Nasional: Upaya Memajukan dan Mencerdaskan Kehidupan Bangsa


Oleh: Nani Efendi


“Sukses bangsa adalah akumulasi kesuksesan individu.”

(John Stuart Mill)


Beberapa hari yang lalu, saya dihubungi Pengurus HMI Cabang Kerinci via handpone. Mereka memberitahukan judul materi yang harus saya sampaikan pada acara LK II HMI Cabang Kerinci di Hotel Masgo tanggal 8 Desember 2012. “Kando, Kando memberikan materi jam 13.00 WIB, Rabu siang. Judul materinya ‘Pengaruh Kebijakan Pemerintah terhadap Pendidikan Nasional’. Nanti saya SMS-kan lagi materinya,” katanya seraya menutup pembicaraan dengan nada gembira. Namun, saya bingung dengan judul materi yang dibuat oleh panitia. Pengurus Cabang pun sepertinya tidak memperhatikan dengan jeli tentang judul materi tersebut. Semestinya, kader HMI yang notabene-nya kader-kader intelektual, harus kritis terhadap segala hal. Apa yang saya maksudkan? Maksud saya, judul materinya tidak jelas. “Pengaruh Kebijakan Pemerintah terhadap Pendidikan Nasional”. Pertanyaan saya, kebijakan di bidang apa? Dalam judul itu tidak dijelaskan kebijakan di bidang apa. Di samping itu, juga tidak dijelaskan apakah pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Akan tetapi, saya bisa menangkap maksudnya. Kemungkinan besar maksudnya adalah kebijakan pemerintah saat ini dalam upaya memajukan pendidikan nasional. Oleh karena itulah, saya memberi judul tulisan ini sebagaimana yang tertera di atas.

Berbicara pendidikan, tentu banyak hal yang mesti kita lihat, seperti persoalan kurikulum, kualitas dan kuantitas serta kesejahteraan tenaga pendidik, infrastruktur atau sarana dan prasarana pendidikan, link and match (keterkaitan) antara dunia pendidikan dengan dunia kerja, kebijakan pemerintah, serta dukungan dari berbagai kalangan seperti masyarakat dan pihak swasta. Dalam tulisan ini saya akan menyampaikan beberapa problem besar yang dihadapi oleh kita bersama—khususnya pemerintah— dalam upaya memajukan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pendidikan adalah cikal bakal kemerdekaan bangsa Indonesia. Karena peran pendidikanlah Indonesia bisa melepaskan diri dari belenggu tirani penjajah. Sejarah membuktikan, bahwa pendidikan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari keinginan untuk merdeka dari penjajahan. Artinya, pendidikan tidak hanya urusan mentransferkan ilmu dari guru ke murid (transfer of knowledge), tetapi pendidikan juga bertujuan membentuk karakter dan jati diri anak bangsa (character building). Memiliki jiwa yang merdeka dan terbebas dari humiliasi, emansipasi, dan diskriminasi adalah beberapa tujuan yang ingin dicapai dari pendidikan. Merdeka dari kebodohan adalah merupakan salah satu cita-cita bangsa Indonesia, bangsa yang pernah dijajah Belanda selama 350 tahun. Inilah yang mesti kita sadari di tengah banyaknya penghinaan yang dialami anak bangsa kita yang dilakukan oleh Negara lain. Perlakuan yang tidak senonoh terhadap TKI dan TKW kita di luar negeri semestinya menyadarkan kita akan pentingnya peran pendidikan dalam membentuk jati diri anak bangsa yang merdeka. Tanpa pendidikan yang baik, yang bisa membentuk jati diri, maka apa yang dikatakan Bung Karno bisa menjadi kenyataan, yakni menjadi bangsa kuli bagi Negara lain. Oleh karena itu, pendidikan bukan hanya urusan ijazah dan nilai rapor maupun indeks prestasi kumulatif (IPK) melulu, tetapi juga pendidikan bertujuan membangun karakter dan usaha mengembangkan potensi manusia agar mereka bisa bermanfaat bagi kehidupan.

Pengajaran Moral


Pendidikan di Indonesia, kecuali Pesantren, lebih menekankan aspek kognitif. Artinya, pendidikan di Indonesia terlalu mengagungkan kecerdasan otak ketimbang akhlak. Orang yang dianggap pintar dan hebat itu ialah orang yang pintar dalam matematika dan ilmu-ilmu eksakta. Sementara orang yang pintar dalam ilmu agama dan akhlak tidak terlalu dihargai di tengah kehidupan sosial masyarakat kita. Sistem pendidikan yang terlalu mengagungkan kecerdasan otak dan mengabaikan aspek moral dan akhlak seperti saat ini perlu kita tinjau ulang. Karena sistem pendidikan yang seperti inilah yang telah melahirkan banyak koruptor di negeri ini. Mereka, para koruptor, bukannya orang-orang bodoh. Mereka semua orang hebat dan cerdas. Akan tetapi, mereka kering moral dan spiritual. Dengan kata lain, sistem pendidikan yang ada sekarang telah menciptakan banyak manusia-manusia pintar, tetapi kering moral dan spiritual. Padahal, kalau kita mengacu kepada tujuan pendidikan nasional, yang kita cita-citakan bukanlah semata-mata manusia yang berilmu pengetahuan dan berketerampilan, tetapi juga insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, harus ada upaya yang serius dari pakar-pakar pendidikan dan juga para perancang kurikulum bagaimana menciptakan keseimbangan antara pengajaran yang bersifat pragmatis dengan pengajaran yang bermuatan moral-spiritual.

Otonomi Pendidikan


Sebenarnya, saat ini masyarakat punya keleluasaan dalam mengelola pendidikan. Dulu, sebelum diberlakukan otonomi daerah, semuanya serba terpusat. Semua sektor termasuk bidang pendidikan diatur oleh pemerintah pusat. Relevan tidak relevannya dengan kebutuhan di masing-masing daerah, kurikulum yang telah dirancang dari pusat harus diterapkan dan diajarkan di setiap sekolah di tanah air. Nah, sekarang, dengan diundangkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, kondisi seperti itu berubah. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menuntut pelaksanaan otonomi daerah. Otonomi tersebut juga termasuk persoalan wawasan demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Pengelolaan pendidikan yang sebelumnya bersifat sentralistik berubah menjadi desentralistik. Desentralisasi pengelolaan pendidikan dengan diberikannya wewenang kepada sekolah untuk menyusun kurikulumnya mengacu kepada UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di samping itu, juga dikarenakan adanya tuntutan globalisasi dalam bidang pendidikan yang memacu agar hasil pendidikan nasional mampu bersaing dengan hasil pendidikan di Negara-negara maju. Bentuk nyata dari desentralisasi pendidikan adalah diberikannya wewenang kepada sekolah untuk mengambil keputusan berkenaan dengan pengelolaan pendidikan, seperti dalam kurikulum, baik penyusunannya maupun pelaksanaannya. Jadi, kalau zaman Orde Baru atau sebelum reformasi semuanya serba diatur dari pusat, sekarang pengelolaan pendidikan diberikan wewenang yang luas kepada daerah. Semestinya, otonomi dalam pengelolaan pendidikan ini dapat memberikan dampak yang besar terhadap kemajuan pendidikan di tiap-tiap daerah. Pertanyaannya, sudahkah sistem yang kita praktekkan saat ini membawa kemajuan dalam bidang pendidikan di Indonesia?

Akses terhadap Pendidikan


Akses terhadap pendidikan adalah persoalan utama yang dihadapi masyarakat luas saat ini. Amartya Sen, peraih Hadiah Nobel Ekonomi tahun 1998 mengatakan bahwa persoalan kemiskinan adalah persoalan aksesibilitas. Karena keterbatasan akses, orang tidak punya banyak pilihan untuk mengembangkan hidup. Akhirnya, orang terpaksa mengerjakan apa yang dapat dilakukan ketimbang mengerjakan apa yang seharusnya bisa dilakukan. Dengan demikian, potensi manusia mengembangkan hidup menjadi terhambat dan kontribusinya pada kesejahteraan bersama pun menjadi lebih kecil. Aksesibilitas yang dimaksud Sen adalah terfasilitasinya kebebasan politik, kesempatan ekonomi, kesempatan sosial (pendidikan, kesehatan) dan lain-lain. Nah, saat ini tidak semua warga negara dapat mengakses pendidikan yang baik dan bermutu. Hal ini menjadi salah satu penyebab sulitnya bagi warga negara untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan mereka. Jika warga negara tidak mendapatkan pendidikan yang baik, maka akan berdampak pada kualitas SDM-nya. Jika SDM sebuah bangsa rendah, maka kontribusi warganya untuk memajukan bangsa juga sedikit. Pada akhirnya, kemajuan bangsa pun akan terhambat. Oleh karena itu, tepatlah apa yang dikatakan filosof Inggris, John Stuart Mill sebagaimana yang saya tulis di atas, “Sukses bangsa adalah akumulasi kesuksesan individu.” Artinya, jika terdapat banyak warga negara yang sukses, maka suatu bangsa pun akan sukses, demikian juga sebaliknya. Dengan kata lain, jika sebuah bangsa ingin sukses, maka warga negaranya secara individual pun harus menjadi orang-orang sukses. Nah, pendidikan merupakan salah satu kunci untuk mencapai kesuksesan.

Sejalan dengan hal di atas, jika sebuah bangsa ingin mandiri, maka setiap warganya juga harus mandiri. Barangkali itulah maksud tema LK II HMI Cabang Kerinci kali ini, “Kemandirian HMI untuk Kemandirian Bangsa”. Artinya, kader-kader HMI harus sukses dan mandiri jika ingin mewujudkan Indonesia yang adil dan sejahtera. Bagaimana mungkin kader-kader HMI mampu mewujudkan masyarakat adil dan makmur jika diri mereka sendiri tidak sukses dan mandiri. Oleh karena itu, problem kita hari ini, untuk mencapai kemandirian dan kesuksesan, dibutuhkan pendidikan yang memadai.

Nah, hari ini akses terhadap pendidikan tidak semudah yang kita bayangkan. Biaya pendidikan semakin hari semakin tinggi. Untuk bisa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, terlebih lagi perguruan tinggi ternama semisal UGM, UI, ITB, dan perguruan tinggi besar lainnya, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Akhirnya, banyak anak-anak bangsa yang berpotensi, tidak bisa mengembangkan diri karena terkendala dalam mengakses pendidikan yang lebih tinggi. Padahal, di rezim ijazah saat ini, kemampuan seseorang selalu diidentikkan dengan ijazah. Tanpa menggondol ijazah dari pendidikan formal, seseorang sulit untuk diterima bekerja di sektor formal. Dan mereka juga sulit untuk mendapatkan pengakuan publik. Tidak hanya itu, di sisi lain kita menyaksikan melalui media massa ada anak yang bunuh diri hanya karena tidak mampu membayar uang sekolah. Ini memprihatinkan. Oleh karena itulah, kita butuh perhatian pemerintah yang lebih serius untuk secepatnya mengatasi persoalan akses masyarakat terhadap pendidikan.

Yang jadi problem dalam persoalan mengakses pendidikan ialah mereka-mereka yang tidak berprestasi dan tidak kaya. Mereka otomatis tidak bisa mengakses pendidikan yang lebih tinggi dan lebih baik untuk mengembangkan diri. Karena begini, jika dia kaya tetapi tidak berprestasi, dia masih aman. Dia masih bisa mengakses pendidikan, karena dia masih mampu membayar. Sebaliknya, jika dia miskin, tetapi dia berprestasi, juga masih bisa mengenyam pendidikan lebih lanjut di banyak lembaga pendidikan bergengsi, karena dia masih bisa memperoleh beasiswa kemana pun. Yang jadi problem ialah mereka yang saya sebutkan pertama tadi, miskin dan tidak berprestasi. Mau kemana anak-anak bangsa yang dalam kriteria ini? Padahal, mereka punya keinginan dan cita-cita yang besar untuk menjadi sukses dan mengembangkan potensi diri mereka. Dan mereka juga mempunyai hak sama untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Di sinilah dituntut perhatian pemerintah. Potensi besar yang ada dalam diri setiap anak bangsa kita tidak boleh terpendam dan terkubur bersama mereka ketika mereka mati. Potensi itu harus bisa bermanfaat bagi kemajuan bangsa ini. Potensi yang terpendam pada setiap individu anak bangsa harus dikontribusikan untuk membangun bangsa ini. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal harus bisa diakses oleh semua anak bangsa tanpa terkecuali. Karena ia merupakan kewajiban negara sebagaimana amanat UUD 1945 bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Nah, sudahkah pemerintah menjalankan amanat UUD 1945 tentang pendidikan? Tentu masih menjadi tanda tanya besar. Semestinya, Indonesia yang serba kaya raya ini warganya terbebas dari biaya pendidikan. Di Jerman, pendidikannya gratis dari SD sampai S3. Kok di Indonesia pendidikan kian hari kian mahal? Di sinilah terlihat bahwa pemerintah belum berhasil menyediakan akses yang luas bagi masyarakat untuk mengenyam pendidikan yang baik dan memadai.

Problem Tenaga Pendidik


“Oemar Bakri, Oemar Bakri banyak ciptakan menteri…tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri,” kata Iwan Fals dalam lagunya, Oemar Bakri. Apa yang dinyanyikan oleh Iwan Fals itu adalah gambaran nasib guru di Indonesia semenjak zaman penjajahan. Guru di Indonesia tidak terlalu dihargai sebagaimana halnya di Negara maju semisal Jepang. Profesi guru tidak dipandang begitu prestisius di negeri ini. Pandangan masyarakat ini juga terlihat dari kebijakan pemerintah terhadap kesejahteraan guru. Pada zaman Orde Baru, kesejahteraan guru sangat memprihatinkan. Guru dianggap sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Slogan ini seolah sengaja dibuat agar guru tidak banyak menuntut pada pemerintah. Guru disuruh saja mengabdi.

Sekarang, era pemerintahan SBY, kesejahteraan dan kualitas guru mulai diperhatikan. Tetapi, masih bersifat setengah hati. Kebijakan tentang pemberian tunjangan profesi yang dijalankan saat ini belum menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Malahan, tunjangan profesi telah melalaikan guru dari tugas pokoknya mengajar. Mengapa? Karena, mereka sibuk sehari-hari memikirkan bagaimana bisa mendapatkan tunjangan profesi yang besarannya cukup menggiurkan itu. Yang bikin kesal, ternyata banyak guru yang telah mendapatkan tunjangan profesi, tetapi kinerjanya tidak meningkat malahan tambah menurun. Tidak jarang, kalau kita perhatikan di tempat-tempat tertentu di desa-desa, guru- guru honorer malah lebih berkualitas dan lebih loyal serta penuh pengabdian dibanding mereka-mereka yang telah disertifikasi. Siapa yang salah dalam hal ini, gurukah atau pemerintah? Yang pasti, kedua-duanya. Pemerintah belum menemukan sistem atau cara yang tepat untuk memberikan tunjangan profesi kepada guru agar guru bisa menjadi profesional. Sebaliknya, guru juga belum ikhlas mendidik walaupun sudah mendapatkan tunjangan yang besar dari Negara.

Memang, gaji yang besar tidak menjamin kualitas dan mutu kinerja menjadi lebih baik. Tetapi, coba bayangkan, seorang guru yang telah berpuluh tahun mengajar di sekolah, tetapi ketika anaknya mau kuliah, ia tidak mampu membiayainya. Ini kan masalah. Oleh karena itu, penghasilan bukan jaminan, tetapi tanpa penghasilan yang memadai, juga sulit bagi kita untuk berharap banyak pada guru untuk berjuang meningkatkan mutu pendidikan agar menjadi lebih baik. Oleh karena itu, mesti ada upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintah, bagaimana mencarikan solusi terhadap problem ini. Dan guru juga harus benar-benar dapat mengajar dengan baik dan ikhlas serta penuh pengabdian. Guru adalah ujung tombak pendidikan. Sebagus apa pun kurikulum dirancang, kalau guru yang menjalankan tidak kompeten, maka tujuan pendidikan sulit untuk bisa dicapai.

Problem lain yang dihadapi guru adalah skill dan kompetensi. Tingkat pendidikan sebagian besar guru di Indonesia masih rendah. Oleh karena itu, pemerintah telah mewajibkan kualifikasi pendidikan guru minimal strata satu, sesuai amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun, yang jadi persoalan di lapangan adalah pelaksanaan pendidikan untuk guru-guru yang belum sarjana itu hanya bersifat formalitas.

Persoalan lain adalah jumlah dan distribusi guru. Tenaga pendidik di Indonesia masih sedikit. Di samping itu, distribusinya juga tidak merata. Guru-guru yang berkompeten menumpuk di sekolah-sekolah yang dekat dengan perkotaan. Sementara di desa dan pelosok-pelosok tanah air atau di daerah-daerah terpencil, sekolah mengalami kekurangan guru. Di sinilah sebenarnya peran pemerintah daerah di era otonomi daerah saat ini, bagaimana memenuhi kebutuhan guru di tiap-tiap sekolah. Berapa kebutuhan guru di tiap sekolah semestinya diketahui oleh kepala daerah maupun dinas terkait yang ada di daerah. Itu semestinya. Akan tetapi, yang membuat miris, otonomi daerah malah telah menjadi penyebab tidak meratanya distribusi guru di lapangan. Guru—setelah penerapan sistem pilkada langsung—sering menjadi “korban” politik. Guru-guru yang besebrangan dengan sang calon kepala daerah ketika proses pilkada berlangsung sering dibuang ke daerah-daerah terpencil sebagai bentuk balas dendam dari sang calon ketika ia telah terpilih. Di lain pihak, guru-guru yang punya akses dan kedekatan dengan kepala daerah maupun kekuatan politik di daerah bisa memilih tempat mengajar sesuai keinginan mereka. Persoalan inilah yang menjadi salah satu penyebab tidak meratanya distribusi (penempatan) guru di daerah-daerah. Nah, persoalan ini harus menjadi perhatian (concern) kita bersama, khususnya kader-kader HMI di masing-masing cabang. Pendidikan tidak boleh menjadi korban politik.

Infrastruktur Pendidikan

Minimnya infrastruktur atau sarana dan prasarana pendidikan merupakan persoalan besar yang dialami Indonesia saat ini. Persoalan infrastruktur tidak hanya dari segi kualitas, tetapi juga dari segi kuantitas (availability). Infrastruktur atau sarana dan prasarana itu antara lain ialah kondisi dan ketersediaan gedung sekolah maupun kampus, perpustakaan, laboratorium, media pengajaran, alat-alat praktikum, dan lain sebagainya. Berita masih banyaknya anak-anak yang tidak bisa mengakses pendidikan formal karena tidak tersedianya sekolah yang memadai, membuat miris. Di sisi lain, kita menyaksikan ada anak-anak yang terpaksa melintasi jembatan darurat untuk bisa sampai di sekolah. Semua itu merupakan gambaran riil kondisi infrastruktur pendidikan di Indonesia. Persoalan infrastruktur juga telah melahirkan kesenjangan pendidikan antara desa dan kota. Dengan demikian, sistem Ujian Nasional yang menyamaratakan siswa di seluruh tanah air adalah suatu hal yang tidak fair. Ujian Nasional hanya bisa fair apabila kondisi infrastruktur di seluruh Indonesia dalam kondisi baik dan merata.

Melihat persoalan infrastruktur pendidikan yang demikian serius saat ini, kita berharap dan meminta perhatian serius dari banyak pihak, terutama pemerintah, baik pusat maupun daerah. Dengan anggaran 20 persen dari APBN dan APBD untuk pendidikan, semestinya persoalan infrastruktur bisa diatasi dengan segera. Namun, sampai saat ini, kondisi infrastruktur pendidikan masih memprihatinkan. Lantas, di mana letak persoalannya? Persoalannya terletak pada pengelolaan anggaran yang 20 persen itu. Anggaran itu banyak yang tidak tepat sasaran. Pengalokasiannya belum sempurna. Anggaran itu banyak mengalami kebocoran. Bantuan Operasional Sekolah atau BOS, misalnya, sudah menjadi lahan korupsi baru bagi para kepala sekolah di banyak daerah. Oleh karena itu, dibutuhkan partisipasi dari masyarakat untuk mengontrol pengelolaan dana pendidikan agar penggunaannya tepat sasaran dan terhindar dari korupsi.

Nah, pemerintah harus menjamin ketersediaan infrastruktur pendidikan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Memperhatikan kondisi infrastruktur pendidikan di Indonesia saat ini, kelihatannya belum cukup dan belum memadai. Artinya, bukan tidak ada, tetapi belum cukup. Kita perlu lebih banyak dan lebih baik. Yakin Usaha Sampai, dan usaha sampai yakin!

Penulis: Nani Efendi

(Sekretaris Umum HMI Cabang Kerinci periode 2006-2007 dan Alumnus LK III [Advanced Training] Badko HMI Sumbagsel, Palembang).

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama