Pilkada Kerinci 2013 dan Primordialisme Oleh Nani Efendi


Kabar Kito, "Pilkada Kerinci 2013 dan Primordialisme"

Oleh: Nani Efendi


Di 2013 ini, Kabupaten Kerinci akan melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung. Rakyat Kerinci tentunya berharap akan ada perubahan yang signifikan yang dihasilkan dari proses demokrasi itu. Mungkinkah perubahan ke arah yang lebih baik itu akan terwujud? Untuk menjawabnya, maka kita harus melihat seberapa demokratiskah proses pilkada itu dilaksanakan. Di samping itu, yang sangat menentukan hasil pilkada suatu daerah adalah tingkat kecerdasan para pemilih. Jika tingkat kecerdasan pemilihnya tinggi, maka hasil dari proses pilkada itu pun akan baik, yakni akan melahirkan pemimpin yang baik dan berkualitas. Sebaliknya, jika tingkat kecerdasan pemilihnya rendah, maka hasil yang diharapkan pun tidak akan memuaskan.
Masih Kentalnya Pengaruh Primordialisme
Melihat fenomena struktur sosial masyarakat Kerinci saat ini, pilkada tahun 2013 tidak jauh berbeda dengan pilkada langsung perdana Kabupaten Kerinci tahun 2008 silam. Yang mempengaruhi prilaku pemilih pada proses pilkada Kerinci 2008 ialah unsur-unsur primordialisme (primordialisme), seperti ikatan darah dan keluarga, sukuisme, daerahisme, koncoisme, ikatan kekerabatan, dan pertimbangan-pertimbangan subjektif lainnya. Di antara unsur-unsur primordialisme itu, yang paling signifikan mempengaruhi prilaku pemilih pada Pilkada Kerinci 2008 adalah sentimen kedaerahan. Mengacu pada pengalaman itu, slogan “Siulak pilih Siulak, Rawang pilih Rawang, Semurup pilih Semurup, dan seterusnya, dan seterusnya” sepertinya masih tetap kuat mempengaruhi masyarakat Kerinci pada Pilkada 2013 ini. Pertimbangan-pertimbangan yang irasional, seperti, “Walaupun jelek, walaupun bodoh, yang penting orang kita, itulah yang kita pilih,” akan tetap menjadi strategi tim pemenangan.
Jika unsur-unsur primordialisme tetap kuat mempengaruhi pilihan objektif masyarakat, maka pilkada Kerinci 2013 tidak akan menghasilkan pemimpin yang representatif dan berkualitas. Pilkada yang sarat dengan pertimbangan unsur primordialisme tidak akan pernah melahirkan pemimpin Kerinci yang benar-benar peduli dengan masyarakat Kerinci secara keseluruhan. Ia lebih memilih memajukan daerahnya sendiri. Ia tidak bisa berdiri di atas semua daerah, semua golongan, dan semua suku yang ada di Kabupaten Kerinci. Ikatan persaudaraan masyarakat Kerinci yang terjalin erat selama ini akan tercabik-cabik jika unsur-unsur primordialisme yang ditonjolkan. Masyarakat akan menjadi terkotak-kotak. Di samping itu, jika unsur-unsur primordialisme seperti yang saya sebutkan di atas tetap menjadi pertimbangan para pemilih maka kandidat yang memenangi pilkada Kerinci kedepan adalah mereka-mereka yang mempunyai basis massa yang jelas. Basis massa yang jelas itu ialah yang terstruktur dalam bentuk persatuan masyarakat adat. Dengan demikian, putra-putra terbaik Kerinci yang mempunyai kualitas kepemimpinan yang mumpuni jika tidak berasal dari daerah-daerah yang memiliki basis massa yang besar dan jelas, ia tidak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk menjadi bupati Kerinci.
Persatuan masyarakat adat yang jelas dan besar itu contohnya Siulak, Semurup, dan Rawang. Nah, pilkada Kerinci 2008 jelas sekali memberikan gambaran tentang hal ini. Suara Siulak hampir full pada Haji Murasman. Suara masyarakat adat Rawang hampir seratus persen kepada kandidat bupati asal Rawang sendiri, yakni Nuzran Joher. Di Semurup juga terjadi konsentrasi suara kepada kandidat asal Semurup, Ami Taher. Mereka-mereka ini mampu mengungguli calon-calon lain dikarenakan mereka punya basis massa yang jelas dan besar serta terstruktur dalam hubungan primordialisme masyarakat adat mereka masing-masing. Bagaimana dengan Hasani Hamid yang tidak punya basis masyarakat adat yang besar, tetapi bisa mendapatkan suara yang signifikan? Jawabannya, karena Hasani Hamid adalah calon incumbent, bukan karena memiliki basis masyarakat adat yang besar. Wajar saja. Karena, tokoh incumbent masih memiliki pengaruh dari kekuasaan yang ia miliki. Nah, contoh paling nyata kandidat bupati pada Pilkada Kerinci 2008 yang tidak punya basis masyarakat adat yang besar adalah Herman Muchtar dan Zubir Muchtar. Mereka tidak bisa meraih suara dari masyarakat secara signifkan. Dengan demikian, kedepan, fenomena politik yang seperti itu sepertinya akan tetap mewarnai Pilkada Kerinci 2013.
Saat ini, dari sosialisasi yang mereka lakukan, ada beberapa tokoh yang dipastikan muncul dan berkompetisi pada Pilkada Kerinci 2013. Di antara yang menonjol dalam bersosialisasi, terdapat tokoh-tokoh seperti: Haji Murasman, Irmanto, Julizarman, Adi Rozal, Deri Mulyadi, Fahmi Rizal Gadin, Sukman, M. Rahman, dan Dasra. Di samping itu, muncul juga tokoh-tokoh belia, atau dapat juga disebut sebagai figur alternatif, seperti Saiful Roswandi, Ikhsan Daraqtuni, dan Subur Budiman.
Memang, politik itu senantiasa berubah-ubah. Politik itu unpredictable atau sulit untuk diramalkan secara pasti. Kita tidak bisa memastikan apakah tokoh-tokoh yang gencar bersosialisasi itu bisa menjadi calon bupati atau tidak. Karena, banyak hal yang akan mengganjal mereka, seperti kendaraan politik yang sering disebut “perahu”, yakni parpol pengusung. Jadi, mereka-mereka yang gencar bersosialisasi belum tentu bisa melewati prosedur-prosedur formal yang ada. Namun, melihat tokoh-tokoh yang muncul yang diperkirakan akan siap bertarung di 2013 ini, nuansa primordialisme dipastikan akan tetap berpengaruh besar. Oleh karena itu, diperlukan penyadaran dan pendidikan politik pada masyarakat. Jika tidak ada penyadaran dan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat, dapat diperkirakan tokoh-tokoh yang akan memenangi Pilkada Kerinci adalah mereka-mereka yang memiliki basis masyarakat adat yang besar. Referensi yang jelas adalah Pilkada Kerinci 2008 lalu. Nah, semestinya rakyat tidak boleh mempermasalahkan daerah asal kandidat. Sepanjang ia mampu, mempunyai kompetensi, integritas, dan komitmen yang kuat untuk memajukan Kerinci secara umum, dialah seharusnya yang dipilih oleh masyarakat. Jadi, bukan karena alasan primordial, seperti, “Dia paman saya,”, “Dia orang dari daerah kami,” dan pandangan sempit lainnya.
Perlu Pertimbangan Rasional
Untuk memunculkan pemimpin yang baik, maka azas-azas kemasuk-akalan (reasonable) harus menjadi dasar bagi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Pertimbangan rasional dan objektif harus diutamakan dalam memilih calon yang berkompetisi dalam pilkada. Bagaimana dan dari siapa harus memulainya? Dalam sejarahnya, perubahan itu tidak pernah dimulai oleh kelompok besar massa rakyat. Perubahan besar yang terjadi di dunia sepanjang sejarah manusia, selalu digerakkan oleh komunitas kecil. Komunitas kecil itu contohnya adalah kelompok kecil kaum intelektual, pemikir, atau filosof.
Jadi, untuk menciptakan proses pilkada Kerinci yang jujur, adil, dan demokratis, maka dibutuhkan peran dari kaum intelektualnya. Kaum intelektual harus berkomitmen dan punya tanggung jawab moral untuk membimbing massa rakyat dan menunjuki mereka ke jalan yang benar, bukan sebaliknya, mengelabui rakyat demi kepentingan pribadi dan golongannya saja. Kaum intelektual yang memahami mana yang baik dan buruk, tetapi berlagak tidak tahu dan menutup mata serta mengingkari nuraninya sendiri, disebut sebagai “pelacuran intelektual”. Kaum intelektual, cendikiawan, kaum-kaum terdidik dan tokoh-tokoh masyarakat harus memberikan pendidikan politik dan pencerahan kepada masyarakat. Masyarakat harus dicerahkan dan diberi pemahaman bahwa pemimpin yang baik itu tidaklah tergantung dari kedekatan primordialisme seperti ikatan darah, sukuisme, daerahisme, koncoisme, maupun ikatan kekerabatan, tetapi pemimpin yang baik itu ialah yang memiliki kemampuan dan kriteria sebagai seorang pemimpin, terlepas ia berasal dari daerah mana. Kriteria pemimpin yang baik itu di antaranya: jujur atau punya integritas moral, adil, amanah, memiliki kompetensi atau cakap secara intelektual, dan yang lebih penting lagi, bisa diterima dan mengatasi semua golongan dan daerah, bukan hanya tahu dengan daerahnya sendiri. Mungkinkah Kerinci mendapatkan pemimpin yang baik pada Pilkada 2013? Semoga.

Nani Efendi (Pengamat Sosial, tinggal di Jambi)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama