DPR Anggap Pilkada Tidak Memiliki Standar Biaya

Wakil Ketua Komisi II DPR Abdul Hakam Naja menilai selama ini penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak memiliki standar biaya anggaran, tetapi disesuaikan dengan APBD dan pendapatan asli daerah (PAD), atau dana alokasi umum (DAU) dan sebagainya, yang memang kurang bisa dipertanggungjawabkan.

“Dana pilkada selama ini mencapai sekitar Rp 20 trilyun,” kata Hakam Naja saat menjadi pembicara pada diskusi bertema “Penghamburan Uang Negara pada Pemilukada” di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (2/4). Pembicara lainnya dalam diskusi itu, adalah Direktur Fasilitasi Kepala Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Dodi Riatmadji dan Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis.

Untuk itu ke depannya perlu diatur biaya penyelenggaraan pilkada sesuai indeks daerah, yang meliputi jumlah penduduk, luas wilayah, dan tentu jumlah pendapatan kotor daerah (PDBD) dan lain-lainnya dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang saat ini tengah dibahas antara DPR dan pemerintah. Selain itu dalam RUU tersebut juga akan mengatur tentang elektronik voting (E-Voting).

Hanya saja masalah E-Voting itu menurut Hakam Naja, terkait dengan kultur di mana rakyat belum percaya betul terhadap proses elektronik karena integritas sistem elektronik, yang masih dipertanyakan. “Kecuali kalau semacam ATM, di mana setelah mengambil uang, struknya keluar dan itu sebagai bukti pemilihan. Kita akan coba untuk daerah yang siap seperti Jembrana (Bali), Jakarta, dan daerah lain,” ujarnya.

Menyinggung pemungutan suara ulang (PSU), yang selama ini tidak dianggarkan, dalam RUU nanti akan disiapkan untuk mengantisipasi biaya yang dibutuhkan agar tidak menimbulkan masalah. Misalnya melalui APBD-P. “Khusus untuk anggaran PSU itu nanti bisa diatur melalui APBD-P,” katanya.

Sementara itu pakar hukum tata negara Margarito Kamis mengatakan selama ini pemerintah lewat Kemendagri dengan berbagai alasan selama ini mengusulkan pemilukada dipilih kembali oleh DPRD.

“Kalau kepala daerah dipilih kembali oleh DPRD, lalu bagaimana dengan fungsi KPU, Bawaslu, dan seterusnya yang selama ini merupakan bagian dari penyelenggara pemilu,” ujarnya.

Menurut Margariro, memang tetap ada masalah dengan pemilihan langsung, tapi proses demokrasi ini harus dilanjutkan dengan terus melakukan pembenahan untuk membuat sistem dan prosedur yang lebih baik lagi.

“Hanya saya mengusulkan penghitungan suara itu langsung dari TPS ke KPU. Tak lagi melalui PPK, KPUD Kabupaten/Kota, dan KPUD Provinsi. Dengan begitu, suara rakyat lebih bisa dipertanggungjawabkan, termasuk ketika ada sengketa yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK),” katanya. Sementara di tempat yang sama, Direktur Fasilitasi Kepala Daerah Kemendagri, Dodi Riatmadji mengemukakan, sebenarnya tujuan pemerintah melalui pembahasan RUU Pilkada itu bagaimana proses pilkada ini akan berlangsung lebih baik dan akuntabel, khususnya dalam pengelolaan keuangan negara. Terutama menyangkut PSU dan biaya keamanan, yang belum dianggarkan. “Jadi, selain penghematan uang negara, juga untuk menghilangkan mahar politik untuk partai,”ujarnya.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama