80 Tahun Dr. Mochtar Naim: Dari Kerinci Hingga Merantau Sepanjang Masa

Oleh : Dt. Tan Tuah
Pengajar pada Universitas Gadjah Mada

Karatau madang di hulu, ba­buah babungo balun

Marantau bujang dahulu, di rumah baguno balun

Kabar Kito - Sesuai dengan rencana, maka tanggal 10 Januari 2013 ini akan diadakan Peringatan 80 Tahun Dr. Mochtar Naim di Auditorium Kantor Gubernur Su­matera Barat. Semestinya momentum ini merupakan kebanggaan bagi Panitia, Pemda maupun masyarakat Sumatera Barat keseluruhan, karena dapat me­laksanakan dan mengikuti acara yang diperuntukkan bagi salah seorang putra terbaik Minangkabau, yang memiliki kedalaman ilmu, kemurnian tauhid dan kejituan strategi di dalam kehidupan. Sosiolog andal ini lahir di Kerinci 25 Desember 1932, ketika berusia 6 tahun yang setelah ditinggal Ibunda kembali ke kampung-halaman di Taluak, Ba­nu­ham­pu (Agam) hingga menamatkan SMA Birugo, Bukittinggi (Jurusan Sosial Ekonomi) pada tahun 1951. Sesudah itu ia kembali merantau dan pernah ber­mukim di berbagai kota di dalam maupun di luar negeri bersama keluarganya.

Pada perjumpaan di awal bulan Novem­ber 2012 yang lalu di Hotel Boro­bu­dur (Jakarta), pakar migrasi ini me­ngatakan bahwa draft buku terbaru ber­judul DM-DI (Dunia Melayu – Dunia Islam) juga sudah hampir selesai. Dalam per­jumpaan sebelumnya pada bulan Pe­bruari 2012 di Yogyakarta bersama Ang­gota Badan Musyawarah (Bamus) Nagari Ka­mang Hilia, selain me­ny­e­rahkan 1 set buku yang berisi Kumpulan Pidato dan Tu­lisan (Selaku Anggota DPD-RI dari Sumbar 2004-2009, yang berisi pe­mi­kiran tentang ABS-SBK, masyarakat hu­kum adat, kepemimpinan di Mi­nang­ka­bau hingga Indonesia Bersyari’ah) juga da­pat berdiskusi dengan Anggota Bamus hing­ga larut malam tentang berbagai per­soa­lan banagari maupun masalah antara Agam dan Bukittinggi, meskipun sebe­nar­­nya beliau dalam kondisi kurang sehat. 

Dr. Mochtar Naim sedari kecil me­mang sudah ditempa dengan berbagai suka-duka kehidupan, yang merupakan ciri kekerabatan di Alam Minangkabau. Berjalan kaki dari Taluak (Banuhampu) ke Bukittinggi untuk bersekolah, mem­bantu usaha keluarga ataupun untuk sekadar membaca surat kabar di Pasa Ateh Bukittinggi sudah merupakan hal biasa baginya. Hingga menamatkan SMA, tokoh yang tahun 1980 ikut me­nyiapkan berdirinya Fakultas Sosial Budaya Universitas Andalas ini ke sekolah masih memakai “tangkelek”. Karena prestasi bagus yang diperoleh ketika menamatkan SMA, Mochtar Naim muda mendapatkan bea-siswa untuk masuk Fakultas Hukum, Ekonomi & Sosial Politik pada Balai Pendidikan Tinggi Gadjah Mada (kini Universitas Gadjah Mada) di Yogyakarta, meskipun hanya sebentar. Jenjang pendidikan sampai tingkat doktoral dijalaninya di Pendidikan Tinggi Agama Islam Negeri (kemudian menjadi IAIN Sunan Kalijaga dan kini bernama UIN) dan Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) di kota yang sama. Tahun 1957 mendapat bea-siswa untuk melanjutkan studi ke jenjang Master di Institut of Islamic Studies, Mc-Gill University Canada hingga tahun 1960.

Pada awal dasawarsa 1980-an pendiri Center for Minangkabau Studies ini secara akademis melansir sebuah konsep dialektika budaya yang cukup populer dan sekaligus polemikal - kontroversial, yaitu perbandingan pola budaya J dan M. Budaya J (Jawa) berada di satu kutub yang melambangkan budaya vertikal, hirarkik, sentripetal, sentralistik, feo­dalistik, paternalistik, dan sinkretik, sementara budaya M (Minangkabau) melambangkan budaya horizontal, ega­liter, sentrifugal, desentralistik, de­mokratik, dan sintetik. Pergumulan budaya di Indonesia menurutnya di­presentasikan oleh kedua kutub budaya yang saling tarik-menarik ini, dalam kerangka dialektika budaya Nusantara.

Ketika menjabat sebagai Direktur Pu­sat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Uni­versitas Hasanuddin, Ujungpandang (1979-1980) Mochtar Naim mulai me­nu­lis karya monumental yang juga tidak ter­nilai harganya, yaitu klasifikasi Ayat-ayat Al-Qur’an secara Tematik Maudhu’i. Hing­ga saat ini sudah diselesaikan 8 tema (dari 10 tema), yaitu tentang : (1) Fisika dan Geografi, (2) Biologi dan Kedokteran, (3) Botani dan Zoologi, (4) Ekonomi, (5) Hu­kum, (6) Kisah-kisah Sejarah, (7) Hi­dup Sesudah Mati, dan (8) Ayat-ayat Do’a. 

Meskipun mantan Direktur PUSIDO (pusat informasi & data) di Bukittinggi ini pernah menyebut pemikiran2-nya se­bagai “the right topic ini the wrong time” dan menanggungkan akibatnya, tetapi semangat di dalam menuntut ilmu/belajar (termasuk kemampuan menulis) dari pencetus ide pendirian Surau Maha­siswa di Sumatera Barat ini perlu dite­la­dani oleh generasi muda Minangkabau khususnya maupun pemuda-pemudi Indonesia pada umumnya.

Merantau

Program doktor penulis produktif ini dimulai di New York University dan diselesaikan di University of Singapore tahun 1975, dengan disertasi berjudul Merantau: Minangkabau Voluntary Migration (Pola Migrasi Suku Minang­kabau), kemudian diterjemahkan oleh Rustam St. Rumah Tinggi dan Ansari untuk diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press (1979 dan 1984). Buku ini menjadi salah satu acuan bagi dosen dan mahasiswa yang mempelajari masalah migrasi (perpindahan penduduk). Ketika direncanakan cetakan berikutnya, pihak GAMA Press menghendaki perbaikan kata-kata maupun berbagai kalimat, maka mantan Staf Ahli Departemen PUTL ini merasa lebih baik menulis baru daripada merombak atau merubah isi yang telah ada, kecuali untuk teknis penulisan. Rencana cetakan ketiga buku inipun terkatung-katung, sehingga mun­cul pemikiran untuk menerbitkan di tempat lain.

Prof. Masri Singarimbun pakar de­mo­grafi UGM di dalam Sepatah Kata pada buku cetakan kedua mengatakan bahwa Mochtar Naim menyajikan ber­bagai hal menarik, sebagai hasil dari tinjauan migrasi khas Minangkabau, dikaitkan dengan struktur sosial, sejarah, politik, dan ekonomi (regional & na­sio­nal), juga hingga di luar tapal batas Indonesia. Disertasi itu juga mengandung informasi yang amat kaya tentang ma­syarakat Minangkabau (di Ranah dan di Rantau), dahulu dan sekarang. Juga kemampuannya di dalam mengukur volume migrasi Minangkabau dengan melakukan proyeksi berdasarkan angka sensus tahun 1930. Tinjauan sejarah rantau mencakup jangka waktu lebih 13 abad, dan untuk 7 dekade terakhir dengan pentahapan yang jelas. Perpencaran perantau dan pola kehidupannya ditelaah secara terperinci, serta pelbagai faktor yang mempengaruhi di analisis secara menarik, yang diakhiri tentang efek dan prospek dari kegiatan merantau.

Selain populer dengan pantun di atas, karena memang di rumah (di nagari) belum berguna, maka paling tidak ada 5 peribahasa yang memakai kata rantau atau merantau, yaitu :
1. Ikua darek kapalo rantau ; untuk membedakan daerah pedalaman yang disebut darek, sementara bagian tepi disebut rantau.
2. Lauik sati, rantau batuah ; daerah rantau yang memberi pengharapan.
3. Marantau ka rusuak dapua, marantau di baliak lapiak, atau ma­rantau di ujuang bandua ; untuk yang merantau dekat.
4. Rantau sati, taluaknyo dalam ; mencari penghidupan di perantauan tidaklah mudah.
5. Sagan bagalah, hanyuik sa rantau ; enggan bekerja keras akan mengalami kesusahan.

Selain peribahasa di atas masih ada istilah lain, seperti marantau abih atau marantau Cino yang dahulu dianggap tepat bagi etnis Tionghoa, namun istilah itu tidak sesuai lagi untuk saat ini. Dengan kemajuan di sektor transportasi, jika komunitas ini memerlukan untuk melihat tanah leluhur atau menemui sanak-saudara di daratan Cina sangatlah mu­dah. Atau seperti kisah yang mence­ri­ta­kan tokoh pembaharu Islam Mi­nang­kabau, Sjech Achmad Chatib yang karena ikrar sudah terucap, maka ketika sangat rindu kepada kampung-halaman ikut sebagai penumpang kapal jemaah haji yang kembali dari Makkah, kemudian melihat Alam Minangkabau hanya dari geladak kapal tanpa pernah me­ngin­jak­kan kaki di Pelabuhan Telukbayur.

Dari sudut sosiologi, menurut mantan anggota MPR dan BP-MPR ini, merantau mengadung 6 unsur pokok, yaitu : (1) meninggalkan kampung-halaman, (2) dengan kemauan sendiri, (3) untuk jangka waktu lama atau tidak, (4) dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman, (5) biasanya dengan maksud kembali pulang, dan (6) merantau sebagai lembaga sosial yang membudaya. Juga ada yang me­ngar­tikan merantau untuk menjadikan kam­pung-halaman sebagai tempat yang lebih baik untuk kembali.

Beberapa tahun yang lalu data sta­tis­tik menunjukkan bahwa etnis Min­ang­ka­bau memang memiliki angka paling tinggi (>35%) dari penduduknya yang ber­tem­pat tinggal di luar daerah asal, meskipun di beberapa nagari ditemui lebih dari separoh penduduknya meran­tau. Ir. Azwar Anas, ketika menjabat sebagai Gubernur pernah mewacanakan istilah merantau sebaiknya digunakan untuk orang Minang yang menetap/bermukim di luar negeri, sementara un­tuk yang mencari penghidupan masih di wilayah NKRI menggunakan kata “be­rada” saja.

Dengan terselipnya kata Merantau Sepanjang Masa, bagaimanakah orang Minang mengartikan tema ini?. Seperti itukah paradigma merantau kini?, atau sudah terjadikah pergeseran?, dan bagaimana hubungan antara Ranah dengan Rantau kelak?. Ataukah itu slogan yang diperlukan untuk membangun mindset orang Minang?. Dengan me­ngutip kata-kata beliau sendiri, bahwa masyarakat Minangkabau (di Ranah dan di Rantau) sampai sekarang masih dalam keadaan diaspora (kebingungan dan kegalauan), bahkan cenderung kehi­langan arah karena ketiadaan pemimpin, yang ada hanyalah pejabat dan penguasa. Semoga terjawab dalam Orasi Ilmiah Mochtar Naim pada acara ini. Dirgahayu Bapak Mochtar Naim

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama